Isu Negara Islam kembali ramai dibicarakan. Beberapa teror bom disebut-sebut dilakukan kelompok yang mengatasnamakan NII (Negara Islam Indonesia). Meskipun belum bisa dipastikan kebenarannya, kelompok ini diduga terlibat cuci otak beberapa mahasiswa yang tiba-tiba menghilang. Termasuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan dana. Beberapa media pun dengan gencar mengopinikan bahaya mendirikan negara Islam yang dikatakan menjadi tujuan kelompok ini. Perjuangan mendirikan negara Islam dianggap membahayakan Indonesia dan menjadi ideologi kelompok teroris.
|
Islam, Dakwah, Dakwah Islam, Islam dan Ilmu Pengetahuan, Dakwah Rasulullah, Dakwah nabi Muhammad, Inspirasi Islam, Kisah islami, Ilamic Finder, Islamic Center, Islam Indonesia, Islam di Indonesia, islam itu indah, islam bukan teroris, Islam bukan agama teroris, negara islam, negara islam di dunia, Cerita Islami, Pribadi Muslim, Dakwah Kampus, Dakwah kampus Malang, Dunia Islam, Muslimah, Muslim |
Penting bagi kita untuk memahami, perjuangan mendirikan negara Islam sesungguhnya adalah perjuangan yang mulia. Sebab negara Islam, dalam pengertian negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah adalah kewajiban syar'i. Tanpa ada negara yang didasarkan kepada Islam, kewajiban menerapkan seluruh syariah Islam, yang menjadi konsekuensi keimanan seorang Muslim, mustahil bisa dilakukan.
Banyak hukum syariah Islam yang membutuhkan institusi politik yang sekarang disebut negara. Hukum syariah Islam yang berkaitan dengan hudud seperti potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, tentu membutuhkan institusi politik atau otoritas yang legal atau negara.
Demikian juga menerapkan kebijakan mata uang yang didasarkan pada dinar dan dirham (berbasis emas dan perak), pendidikan dan kesehatan gratis, pengaturan pemilikan umum (milkiyah 'amah) seperti barang tambang yang melimpah (emas, minyak, batu bara) harus dikelola negara, tidak boleh diberikan kepada swasta asing, dan hasilnya harus digunakan untuk kepentingan rakyat, tentu membutuhkan otoritas negara.
Imam Abul Qasim Al-Hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy-syafi'i An-Naisaburi, menjelaskan “…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab ("maka jilidlah") adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula”(Tafsir An-Naisaburi, juz 5 hal 465).
Otoritas politik seperti inilah yang oleh para ulama disebut imamah atau khilafah. Syeikh Muhammad Abu Zahrah menjelaskan khilafah adalah imamah al-kubra (imamah yang agung). Disebut khilafah karena yang memegang dan yang menjadi penguasa yang agung atas kaum Muslim menggantikan Nabi SAW dalam mengatur urusan mereka. Disebut imamah karena khalifah itu disebut imam. Karena taat padanya adalah wajib. Karena manusia berjalan di belakang imam tersebut layaknya mereka shalat di belakang yang menjadi imam shalat mereka” (Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah, juz I hal 21).
Kewajiban imamah atau khilafah ini berdasarkan kepada Alquran, sunah